Minggu, 23 Desember 2012

Terapi Oksigen




Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan yang diberikan dalam upaya untuk mempertahankan okasigenasi jaringan yang adekuat. Peningkatan ekspansi paru, mobilisasi sekresi, dan upaya mempertahankan jalan nafas yang paten yang akan membantu klien dalam memenuhi kebutuhan oksigensasi. Beberapa klien, bagaimanapun juga, membutuhkan terapi oksigen untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang sehat.

Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah (1) untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk menurunkan kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.

Adapun indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut :
1. Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah.
2. Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan.
3. Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.

Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2 dindikasikan kepada klien dengan gejala : sianosis, hipovolemi, perdarahan, anemia berat, keracunan CO, asidosis, selama dan sesudah pembedahan, klien dengan keadaan tidak sadar.

Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian oksigen diantaranya adalah sebagai berikut :
1. keracunan oksigen. Hal ini dapat terjadi bila oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50% terus menerus selama 1-2 hari.
2. Retensi Carbon Diaoksida
3. Atelektasis
4. Oksigen 100% menimbulkan efek toksik. Apabila Oksigen 80-100% diberikan kepada manusia selama 8jam atau lebih, maka dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan., disstress substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan, dan batuk.
5. Pemajanan selama 24-48jam dapat mengakibatkan kerusakan jaringan paru.
6. Retinipati prematuritas, yaitu pembentukan jaringan vaskuler pada mata yang dapat mengakibatkan kelainan penglihatan berat.
7. Pemberian Oksigen 100% pada tekanan yang lebih tinggi berakibat tidak hanya iritasi trakeobronkial, tetapi juga kedutan otot, rasa pening, kejang, bunyi berdesing dalam telinga, dan koma.

Definisi - Klasifikasi Stroke


STROKE

Oleh : Ns. Ariyani Pradana Dewi, S.Kep.
*Alumni Program Studi S1 dan Program Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak



Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.Stroke atau penyakit sereberovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak, (Price & Wilson, 2005).

Stroke adalah penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Empat juta orang Amerika mengalami defisit neurologik akibat stroke, dua pertiga dari defisit ini bersifat sedang sampai parah (National Stroke Association, 2001). Kemungkinan meninggal akibat stroke inisial adalah 30% sampai 35%, dan kemungkinan kecacatan mayor pada yang selamat adalah 35% sampai 40% (Wolf et al., 2000). Sekitar sepertiga dari semua pasien yang selamat dari stroke akan mengalami stroke berikutnya dalam 5 tahun ; 5% samapi 14% dari mereka akan mengalami stroke ulangan dalam tahun pertama.

Sudah Jatuh tertimpa Tangga Pula, peribahasa itulah yang tepat bagi penderita Stroke. Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yg terbentuk akan diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat.

Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut :
·         1/3 --> bisa pulih kembali,
·         1/3 --> mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,
·         1/3 sisanya --> mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.

Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke.Faktor resiko medis, antara lain Hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi), Kolesterol, Aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), Gangguan jantung, diabetes, Riwayat stroke dalam keluarga, Migrain.

Faktor resiko perilaku, antara lain Merokok (aktif & pasif), Makanan tidak sehat (junk foodfast food), Alkohol, Kurang olahraga, Mendengkur, Kontrasepsi oral, Narkoba, Obesitas. 80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut statistik. 93% pengidap penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi.

Stroke diklasifikasikan berdasarkan :
1.      Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a.       Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
b.      Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
c.       Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

2.      Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:
a.       Hemoragik Intraserebral: pendarahan yang terjadi didalam jaringan otak.
b.      Hemoragik Subaraknoid: pendarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak).

Penatalaksanaan Meningitis


Pemeriksaan Pendukung


A. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Punksi Lumbal (Lumbal Puncture/LP) dilakukan untuk mengukur tekanan cairan serebrospinal dan mengambil contoh cairan spinalis. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. LP tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Hal ini disebabkan karena penurunan tekanan yang sangat cepat setelah pembuang CSF dapat menyebabkan herniasi struktur otak ke dalam foramen magnum.
  2. Pemeriksaan darah terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
  3. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.




B. Pemeriksaan radiografi
  1. CT Scan dilakukan untuk mendiagnosis dan memantau lesi intrakranial atau mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera neurologis.
  2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) dilakukan untuk mendiagnosis adanya tumor, infark dan kelainan pada pembuluh darah di otak.



Pencegahan

Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor predisposisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.
Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.

Beberapa upaya preventif pada bayi dan anak yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan imunisasi tepat waktu.
b. Membatasi jumlah orang yang menjenguk bayi baru lahir seminimal mungkin.
c. Pada usia bayi 0-3bulan usahakan membatasi diri untuk keluar rumah atau jalan-jalan ketempat-tempat ramai seperti mall, pasar, dan rumah sakit.
d. Menjauhkan bayi atau anak dari orang yang sakit.
e. Usahakan bayi atau anak tetap berada pada lingkungan dengan temperatur yang nyaman.

Sabtu, 22 Desember 2012

Manifestasi Klinis Meningitis Pada Anak

Berikut ini adalah manifestasi klinis yang terjadi karena meningitis berdasarkan tingkatan usia anak :


1. Meningitis Neonatus
a. Tanda meningitis dari SSP seperti kaku kuduk dan ubun-ubun yang menonjol masih jarang terlihat (jika terlihat berarti sudah menunjukkan keterlambatan).
b. Tanda sepsis neonatus
1. Kondisi melemah dan rewel
2. Muntah
3. Menangis, merintih
4. Hypothermia
5. Apnea
6. Hyperthermia (>38 C)
7. Apatis (mata tidak beres)
8. Pucat
9. Malas mengisap
10. Kulit “marmer”/mottled
11. Iritibel (Mudah terangsang)
12. Kejang-kejang fokal


2. Meningitis pada Anak
Gejala meningitis pada anak berlangsung dalam beberapa hari dan menunjukkan gejala dari berbagai aspek, diantaranya adalah :
1. Gejala infeksi akut :
- Kondisi melemah hingga lumpuh
- Mudah terangsang / Iritabel
- Anorexia
- Febris tinggi

Gejala tekanan intracranial tinggi (TIT) :
- Nyeri kepala makin berat (ekspresi yang ditunjukkan dengan memegang atau memukul-mukul kepala pada anak, sedangkan pada bayi biasanya hanya merintih, menangis, dan menjadi rewel).
- Ubun-ubun anterior menonjol tegang.
- Kesadaran menurun: apatis sampai koma.
- Tanda “cracked pot” positif.
- Papiledema dan/atau pupil midriasis (dilatasi / lebar).
- Paresis dan/atau kelumpuhan (temasuk strabismus).
- Konvulsi: umum, fokal, partial complex atau “twitching”.
- Pernafasan makin dangkal sampai apnea lalu makin dalam.

Gejala rangsang meningeal
- Kaku kuduk : nyeri leher belakang bila digerakkan atau flexi kedepan.
- Opisthotonus
- Tanda Kerniq & Brundzinsky positif

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada anak dengan meningitis diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Hidrosefalus obstruktif
2. Meningococcal septicemia
3. Sindrom Water Friedeichsen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH(Syndrome InappropriateAntidiuretic Hormone)
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral Palsy
9. Gangguan Mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder


Definisi - Patofisiologi Meningitis


1. Definisi
Menurut Harold (2005), meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak (termasuk durameter, arachnoid, dan piameter).
Menurut Nelson (1999), meningitis adalah salah satu peradangan yang terjadi pada selaput meninges yang dapat dapat disebabkan oleh bakteri, virus, ataupun jamur.
Meningistis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2006).
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (yang disebut meningen) yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Meningitis mungkin disebabkan oleh banyak virus dan bakteri yang berbeda. Ia juga dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit yang dapat memicu peradangan dari jaringan-jaringan tubuh tanpa infeksi

2. Klasifikasi
Pengklasifikasian penyakit meningitis didasarkan pada etiologi munculnya penyakit tersebut, diantaranya adalah :
2.1 Meningitis Bakterial
Meningitis bakterial adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada selaput meninges. Pada periode neonatal, organisme yang paling sering dijumpai menyebabkan meningitis bakterial akut adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, and Haemophilus influenzae type b (Hib) (Muller ML, 2009)
Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

2.2 Meningitis Virus (Non Bakterial)
Meningitis Virus adalah infeksi yang mengenai meninges dan cenderung bersifat jinak (Price & Wilson, 2005) Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik.
Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Meningitis jenis ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; measles, mump, herpes simplek dan herpes zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

4. Patofisiologi
Menurut Suriadi dan Rita dalam buku Asuhan Keperawatan pada Anak terdapat beberapa tahapan yang terjadi hingga terjadinya infeksi pada meningen, yaitu :
- Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial. Efek patologi dan peradangan tersebut adalah : hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang semuanya itu menyebabkan tekanan intrakranial.
- Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, ataub pecahnya abses serebral atau ¬¬¬¬-kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea atau rhinorrhea akibat fraktur dasar tengorak dapat menimbulkan meningitis, dimana terjadi hubungan antara Cerebro Spinal Fluid (CSF) dan dunia luar.
- Masuknya organisme ke susunan saraf pusat melalui ruang sub-arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel.
- Dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan hidrosefalus.
- Pembentukan eksudat pada meningitis bakteri : netrofil, monosit, limfosit dan yang lainnya merupakan sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin dan leukosit yang dibantuk di ruang sub-arachnoid. Penumpukan pada CSF akan bertambah dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medulla spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah yang dapat menimbulkan ruptur atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi infark.
- Pembentukan eksudat pada meningitis virus pada umumnya tidak terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.

Prosedur Pembalutan luka


Oleh : Ns. Ariyani Pradana Dewi, S. Kep.
*Alumni Program Studi S1 dan Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak

Prosedur mengganti balutan luka yang harus diperhatikan adalah mengamati kondisi luka dan tipe luka. Prosedur penggantian luka diantaranya adalah sebagai berikut :
A.    Persiapan Alat
1.      Macam dressing atau obat untuk luka yang dibutuhkan.
2.      Set balutan steril berisi :
-          bisturi steril atau sesuai kondisi
-          1 pinset anatomi dan 1 chirurgic
-          Gunting tajam untuk jaringan
-          Gunting tajam untuk lepas jahitan
-          Bengkok dan kom kecil / sedang
-          Kasa steril sesuai kebutuhan
-          Arteri klem jika perlu
3.      Korentang steril atau sarung tangan steril untuk mengambil alat-alat yang steril.
4.      Sarung tangan steril.
5.      Sarung tangan bersih.
6.      Spuit atau alat khusus untuk irigasi.
7.      Plester dengan ukuran sesuai yang dibutuhkan.
8.      Cairan fisiologis atau air hangat yang bersih
9.      Gunting plester.
10.  Kantong plastik untuk bahan yang kotor.
11.  Waskom kecil / sedang / bengkok, tap resap air untuk menampung cairan irigrasi sesuai kebutuhan.
12.  Larutan antiseptic atau alkohol bila perlu.

B.     Persiapan Pasien
1.      Identifikasi risiko infeksi bagi pasien.
2.      Identifikasi luka (akut atau kronik).
3.      Pengkajian insisi bila luka akut (bedah).
4.      Kaji kebutuhan atau kelengkapan alat.
5.      Identifikasi rencana perawatan dan pengobatan.
6.      Menjelaskan prosedur.
7.      Mengatur posisi pasien.
8.      Mencuci tangan.

C.    Prosedur
1.   Mendekatkan alat untuk memudahkan kerja. Jangan menyentuh area luka secara langsung dan berbicara di atas area luka.
2.   Membuka set balutan steril.
3.   Mengenakan sarung tangan bersih.
4.   Gunakan korentang untuk mengambil alat-alat steril dan siapkan kantong plastic.
5.   Melepaskan balutan dengan pinset dan meletakkannya ke kantong plastik.
6.   Melakukan pengukuran luka dan identifikasi luka termasuk darinase dan (wound bed : warna dasar luka dan cairan / eksudat)
7.   Memberihkan luka dengan cairan fisiologis atau cairan pembersih luka. Dapat juga dengan air hangat yang bersih untuk luka kronik dan menggunakan sabun antiseptik. Membersihkan luka dari arah luar ke dalam. Membersihkan luka dengan pergerakan sirkular. Bila luka terapat drain bersihkan drain dengan adekuat.
8.   Ganti sarung tangan dengan sarung tangan yang steril.
9.   Khusus luka steril, bila akan melepaskan jahitan, oleskan larutan antiseptik pada permukaan jahitan luka.
10.  Lakukan irigrasi pada luka dengan cairan fisiologis.
11.  Mengeringkan luka dengan kasa yang lembut dan steril.
12.  Menempatkan obat luka atau dressing kemasan sesuai order ke area luka secara adekuat.
13.  Tutup luka dengan kasa steril dan plester atau tutup luka dengan dressing kemasan dan diplester.
14.  Mengatur posisi pasien.
15.  Merapikan alat.
16.  Mencuci tangan.

D.    Pendokumentasian
1.      Mencatat ukuran luka.
2.      Mencatat keluaran luka dan wound bed.
3.      Mencatat hasil tindakan perawatan luka yang mencakup data subyektif dan obyektif, analisa dan planning.

E.     Komunikasi
1.      Menjelaskan prosedur sebelum dan kondisi luka sesuah perawatan.
2.      Berkomunikasi selama melakukan perawatan luka secara efektif dan atau teraupetik.

Prosedur Melakukan Pembidaian


Prosedur Pembidaian
Oleh : Ariyani Pradana Dewi 
NIM. SR072010013
*Mahasiswi Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak

Pemasangan bidai adalah suatu tindakan untuk mengatasi atau membantu pasien yang mengalami patah tulang sehingga tidak terjadi pergerakan / pergeseran sehingga pasien tidak merasa sakit. Prosedur ini dilakukan sebagai acuan dan langkah-langkah dalam pelaksanaan pemasangan bidai / spalk pada pasienPemasangan bidai / spalk pada pasien patah tulang dilakukan oleh petugas IGD untuk mencegah komplikasi.
Selain itu pembidaian juga dikombinasikan dengan tekhnik pembalutan perban atau dengan kain mitela, dengan tujuan untuk :
1.      Mencegah pergerakan bagian tubuh yang cidera.
2.      Menyangga luka.
3.      Mengurangi atau mencegah edema.
4.      Mengamankan bidai dan balutan.
Adapun jenis-jenis pemasanagn perban diantaranya dapat dilihat pada table dibawah ini :
Jenis
Deskripsi
Tujuan atau Manfaat
Melingkar
Perban dilitkan ai atas lilitan sebelumnya sampai ujung terakhir perban.
Menahan perban pada lilitan pertama dan terakhir, menutupi bagian tubuh yang kecil (jari tangan, jari kaki).
Spiral
Lilitkan perban ke arah atas bagian tubuh melintasi setengah atau dua pertiga lebar lilitan sebelumnya.
Menutupi bagian tubuh yang berbentuk silinder seperti pergelangan tangan atau lengan bagian atas.
Spiral terbalik
Balikkan lilitan perban pada pertengahan setiap lilitan perban yang dibuat.
Menutupi bagian tubuh yang berbentuk kerucut seperti lengan bawah, paha atau betis. Berguna bila menggunakan perban yang tidak elastis seperti perban kassa atau flannel.
Bentuk delapan
Lilitkan perban secara miring pada lilitan sebelumnya kea rah aats dan bawah dari bagian yang akan di perban. Setiap lilitan melintasi lilitan sebelumnya untuk membuat bentuk delapan.
Menutupi sendi, bentuk yang pas memberikan dampak imobilisasi yang sangat baik.
Rekuren
Pertama-tama ikatkan perban dengan lilitan sirkular pada ujung proksimal bagian tubuh sebanyak dua kali. Buat setengah lilitan tegak lurus dengan tepi perban. Perban dililitkan ke ujung distal bagian tubuh yang akan ditutupi oleh setiap lilitan dengan setiap lilitan dilipat kea rah belakang.
Menutupi  bagian tubuh yang tidak rata misalnya kepala atau tempat dilakukan amputasi.


A.    Persiapan Alat
1.      Perban dengan ukuran sesuai yang akan digunakan. Lebar dan nomor perban disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk bahan elastic biasanya tersedia dalam ukuran 20cm serta 135 dan 270cm, ukuran 7,5cm dan 10cm yang paling sering digunakan.
2.      Kain mitela (sesuai kebutuhan).
3.      Spalk (sesuai kebutuhan).
4.      Peniti pengaman (sesuai kebutuhan).
5.      Plester
6.      Gunting Plester.

B.     Persiapan Pasien
1.      Inspeksi adanya gangguan integritas kulit yang ditandai dengan abrasi, perubahan warna, luka, atau edema. (Lihat dengan teliti daerah penonjolan tulang).
2.      Observasi sirkulasi dengan mengukur suhu permukaan, warna kulit, dan sensasi bagian tubuh yang akan dibalut.
3.      Khusus untuk di Unit Gawat Darurat, perhatikan jika ada luka maka bersihkan luka, dan berikan balutan atau jahitan jika luka terbuka.
4.      Khusus untuk di Unit Perawatan, Kaji ulang adanya program khusus dalam catatan medis yang berhubungan dengan pemasangan perban elastic. Perhatikan area yang akan dipasang perban, jenis perban yang dibutuhkan, frekuensi penggantiannya dan respon sebelumnya terhadap terapi.
5.      Kaji kebutuhan atau kelengkapan alat.
6.      Identifikasi rencana perawatan dan pengobatan.
7.      Menjelaskan prosedur kepada klien. Jelaskan bahwa tekanan lembut dan ringan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi vena, mencegah terbentuknya bekuan darah, mencegah gerakan lengan, menurunkan/mencegah timbulnya bengkak, memfiksasi balutan operasi dan memberikan tekanan.
8.      Mengatur posisi pasien. Bantu agar pasien mendapat posisi yang nyaman dan benar sesuai anatomik.
9.      Mencuci tangan.

C.    Prosedur
1.      Tutup pintu kamar atau gorden.
2.      Pasang spalk pada area yang mengalami cidera (disesuaikan).
3.      Pegang gulungan perban dengan tangan yang dominan dan gunakan tangan yang lainnya untuk memegang permulaan perban pada bagian distal tubuh. Teruslah memindahkan gulungan ke tangan yang dominan sampai perban terpasang.
4.      Pasang perban dari arah bagian distal ke proksimal dengan menggunakan berbagai variasi pemasangan untuk menutup sesuai dengan bentuk tubuh.(Lihat didalam tabel).
5.      Buka gulungan perban dan regangkan sedikit. Lilitkan perban di atas lilitan sebelumnya.
6.      Fiksasi perban pertama sebelum memasang gulungan perban tambahan.
7.      Mengatur posisi pasien ke posisi semula.
8.      Evaluasi sirkulasi bagian distal bila pemasangan perban telah selesai dan lakukan minimal 2 kali selama periode 8 jam.
9.      Dokumentasikan
10.  Merapikan alat.
11.  Mencuci tangan.

D.    Pendokumentasian
1.      Mencatat tindakan pemasangan perban dan respon klien dalam catatan keperawatan.
2.      Mencatat warna, kehangatan, nadi, dan mati rasa.
3.      Mencatat hasil tindakan perawatan luka yang mencakup data subyektif dan obyektif, analisa dan planning.

E.     Komunikasi
1.      Menjelaskan prosedur sebelum perawatan.
2.      Berkomunikasi selama melakukan pembidaian secara efektif dan atau teraupetik.

Intervensi Krisis


Intervensi krisis mengacu pada metode-metode yang digunakan dalam melakukan tindakan segera, berupa bantuan jangka pendek kepada seseorang yang memiliki pengalaman terhadap peristiwa yang menghasilkan reaksi emosional, mental, fisik, dan keadaan yang menyebabkan timbulnya stress atau masalah. Krisis mengacu pada berbagai situasi yang membuat seseorang merasa tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk mengatasi masalah secara efektif dan kemampuan kopingnya. Angka dari peristiwa atau keadaan sebagai pertimbangan terhadap terjadinya situasi krisis : Situasi yang mengancam jiwa, seperti : bencana alam (gempa bumi, tsunami), pelecehan seksual atau korban tindakan kriminal lainnya, penyakit medis, penyakit mental, niat bunuh diri atau pembunuhan, ataupun kehilangan orang yang dicintai. Proses dari intervensi krisis terdiri atas lima tahap yang akan dijelaskan sebagai berikut :

    1. Pengkajian
Pengkajian terhadap klien selama intervensi krisis tergantung pada beberapa faktor, seperti : tingkat keparahan dari situasi krisis, persepsi klien terhadap krisis, dan kelebihan klien. Penjelasan dari ketiga hal diatas, adalah :

1. Kaji tingkat keparahan dari situasi krisis.
Faktor pertama pada tahap pengkajian adalah untuk menentukan jenis gangguan yang menyebabkan krisis dan untuk mengidentifikasi tingkat keparahannya. Ketika perawat mengkaji tingkah laku berbahaya dari klien terhadap diri sendiri dan orang lain, maka digunakanlah forensik krisis. Kata forensik digunakan perawat memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, dan kebebasan klien.

2. Kaji persepsi klien terhadap krisis.
Faktor kedua meliputi pengkajian terhadap persepsi akan suatu peristiwa yang menyebabkan krisis meliputi, kebutuhan utama yang terancam krisis, tingkat gangguan hidup, gejala-gejala yang dialami klien, dan dukungan situasional.

3. Kaji kelebihan yang dimiliki klien.
Faktor ketiga meliputi pengkajian terhadap kelebihan yang dimiliki klien dalam penggunaan mekanisme koping yang digunakan dalam upaya mengatasi krisis.


    1. Diagnosis
Merumuskan diagnosa keperawatan yang spesifik untuk klien, keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu, diantaranya adalah :
a. Kecemasan
b. Ketakutan
c. Koping individu tidak efektif.
d. Gangguan citra tubuh.
e. Resiko kekerasan pada diri sendiri atau orang lain.
f. Ketegangan peran pemberi asuhan.
g. Disfungsi berduka.
h. Penyangkalan.
i. Ketidakberdayaan.
j. Koping keluarga.
k. Distres spiritual.


    1. Perencanaan
1. Bantu klien,keluarga, atau masyarakat dalam menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis untuk pemulihan seperti sebelum krisis.
2. Tentukan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu. Individu yang mengalami krisis akan mengalami berberapa hal berikut, diantaranya :
a.  Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis
b. Mendiskusikan pilihan –pilihan yang ada untuk mengatasinya.
c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada yang dapat memberikan bantuan.
d. Memilih strategi koping.
e. Mengimplementasikan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis.
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk.


    1. Implementasi
1. Bentuk hubungan dengan mendengarkan secara aktif dan menggunakan respon empati.
2. Anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas, dan bantu kien mengutarakan pikiran dan perasaannya.
3. Dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping.
4. Gunakan pendekatan pemecahan masalah.
5. Lakukan intervensi untuk mencegah rencana menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
6. Kenali tanda-tanda bahaya akan adanya kekerasan terhadap diri sendiri (misalnya: klien secara langsung mengatakan akan melakukan bunuh diri, menyatakan secara tidak langsung bahwa ia merasa kalau orang lain akan lebih baik jika ia tidak ada, atau adanya tanda-tanda depresi).
7. Lakukan pengkajian tentang kemungkinan bunuh diri.
8. Singkirkan semua benda yang membahayakan dari tempat atau sekitar klien.
9. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan jiwa untuk menentukan apakah hospitalisasi perlu dilakukan atau tidak.


    1. Evaluasi
1. Perawat menggunakan kriteria hasil yang spesifik dalam menentukan efektifitas implementasi keperawatan.
2. Keselamatan klien, keluarga, dan masyarakat dapat dipertahankan sebagai hasil dari intervensi yang adekuat terhadap ekspresi perilaku yang tidak terkendali.
3. Klien mengidentifikasi hubungan antara stresor dengan gejala yang dialami selama krisis.
4. Klien mengevaluasi solusi yang mungkin dilakukan untuk mengatasi krisis.
5. Klien memilih berbagai pilihan solusi.
6. Klien kembali ke keadaan sebelum krisis atau memperbaiki situasi atau perilaku.

Krisis


  1. Pengertian
Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan respons kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan psikologis (Ann Isaacs, 2004).
Literatur lain menyebutkan bahwa krisis adalah suatu kondisi atau periode dimana terjadi ketidakstabilan emosi seseorang yang menunjukkan adanya gangguan pada kejiwaan seseorang (Shives, 2008).
Dalam buku yang sama, Shives menjelaskan bahwa hampir kebanyakan orang dapat eksis pada keadaan yang seimbang, termasuk berada pada situasi krisis. Itulah mengapa, kehidupan sehari-hari mereka terdiri dari beberapa derajat keharmonisan pada fikiran, harapan, perasaan, dan kejiwaan mereka. Eksistensi ini umumnya akan tetap utuh kecuali jika terjadi gangguan yang serius atau kakacauan dari aspek biologis, psikologis, spiritual ataupun kesatuan sosial.


  1. Paradigma
Bermacam-macam faktor dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi krisis. Aguilera (1997) menjelaskan sebuah paradigma faktor-faktor keseimbangan yang menentukan dalam mengatasi masalah krisis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kembalinya seorang individu pada keadaan yang seimbang, diantaranya adalah :
    1. Realistic Perception
Realistic perception terjadi ketika seseorang mampu untuk membedakan hubungan antara suatu peristiwa dan perasaan terhadap adanya stress. Sebagai contoh, seorang pengusaha batik yang berusia 45 tahun menyadari fakta bahwa perusahaannya berada diambang kebangkrutan karena perubahan zaman dan minat banyak orang terhadap batik semakin berkurang. Walaupun dia menyadari kegentingan terhadap situasi ini dan merasakan stress, dia tidak menyalahkan dirinya sendiri dan melihat ini sebagai suatu kegagalan. Persepsinya terhadap peristiwa nyata menunjukkan reaksinya terhadap situasi tersebut.

    1. Situational Supports
Situational supports mengarah kepada sumber yang tersedia pada lingkungan pribadi. Mengacu pada contoh diatas, dalam situasi yang gawat kemungkinan akan ada usaha dari pengusaha batik tersebut untuk meningkatkan kualitas, design, corak, warna, dan sebagainya dengan meminta bantuan dari norang-orang yang lebih mengerti tentang mode yang sesuai dengan kebutuhan zaman, misalnya para desainer, penjahit, ataupun orang-orang terdekat misalnya anak, keluarga, atau teman. Orang-orang yang berada disekitar lingkungan pengusaha tersebut dapat dipertimbangkan untuk menjadi pendukung situasional karena mereka dapat memberikan gambaran terhadap nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik. Dukungan dari orang-orang ini mungkin dapat mencegah suatu keadaan ketidakseimbangan dan krisis dari peristiwa yang terjadi. Ketika emosional dan sistem pendukung dari lingkungan seperti keluarga atau teman tidak siap untuk membantu, orang tersebut akan memutuskan bahwa peristiwa tersebut sebagai suatu peristiwa yang penuh resiko, hal yang demikian akan meningkatkan emosinya atau membuatnya lebih mudah mengarah ke situasi krisis.

    1. Defense Mechanisms
Mekanisme pertahanan atau koping adalah kumpulan metode yang biasa digunakan oleh seseorang ketika berhubungan dengan kecemasan atau stress, untuk mengurangi ketegangan pada situasi yang sulit.
Mekanisme pertahanan umum yang biasa digunakan selama krisis mencakup penyangkalan, rasionalisasi, identifikasi, regresi atau tekanan. Respon-respon tingkah lakunya seperti :
a. Penolakan untuk menghadapi realitas.
b. Intelektualisasi tentang mengapa situasi ini terjadi?
c. Kekhawatiran yang terus meningkat mengenai bagaimana untuk menyelesaikan permasalahan krisis ini?
d. Kesedihan terhadap perasaan kehilangan.
e. Menarik diri atau pergolakan yang mungkin ditunjukkan korban selama berada pada situasi krisis.

Mekanisme koping digunakan selama perkembangan tingkat awal dan jika ditemukan keefektifan dalam mempertahankan kestabilan emosional maka akan menjadi suatu bagian dari gaya hidup seseorang dalam mengatasi stress harian. Orang yang telah menghadapi pembentukan koping ini dan mencapai suatu level kematangan kepribadian biasanya dapat beradaptasi lebih sigap terhadap krisis. Mengingat contoh dari seorang pengusaha batik diatas, dia mungkin dapat mengatasinya dengan melupakan masalahnnya dengan bekerja, mengadakan pertemuan penting dengan memanggil para pengurus dan orang-orang yang dapat membantunya dan berdiskusi dengan mereka mengenai situasi yang terjadi, atau menarik diri dari situasi tersebut.


  1. Jenis Krisis
Pada umumnya krisis terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Situational Crises
Situasional crises adalah krisis yang terjadi sebagai respons terhadap kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga dalam kehidupan seseorang. Kejadian tersebut biasanya berkaitan dengan pengalaman kehilangan. Krisis situasional dapat terjadi pada individu maupun masyarakat. Krisis situasional mengacu kepada peristiwa yang dapat menyebabkan stress yang luar biasa seperti tsunami, bom bali, atau agresi militer ke Palestina, ini merupakan contoh Krisis situasional masyarakat. Sedangkan contoh untuk krisis situasional individu seperti : kehilangan orang yang dicintai karena kematian, penyakit medis atau kejiwaan, status sosioekonomi yang sulit, kekerasan terhadap anak atau mengabaikannya.
2. Maturational Crises
Maturational Crises adalah krisis yang terjadi sebagai respons terhadap transisi dari satu tahap maturasi ke tahap lain dalam siklus kehidupan. Di sisi lain, ini adalah suatu pengalaman seperti masa pubertas, remaja, dewasa awal, menikah, ataupun proses menjadi tua dimana satu dari gaya hidup seseorang secara berkesinambungan akan berubah. Ini adalah proses yang normal dari pertumbuhan dan perkembangan yang berkembang ke periode yang lebih luas dan memerlukan seseorang untuk membuat beberapa bentuk perubahan. Contoh lain dari krisis perkembangan adalah menyendiri atau mengucilkan diri sendiri, dimana seseorang menghadapi kehilangan kelompok bermainnya sama halnya dengan kehilangan status identitas.
Menurut Ann Isaacs (2004), krisis terbagi atas 3 jenis yaitu krisis situasionalkrisis maturasional, dan krisis adventisius. Mengenai krisis situasional dan maturasional penjelasannya kurang lebih sama dengan yang telah dijelaskan diatas. Krisis Adventisius, adalah krisis yang terjadi sebagai respons terhadap trauma berat atau bencana alam. Krisis ini dapat memengaruhi individu, masyarakat, bahkan negara. Krisis ini pada dasarnya sama dengan jenis krisis situasional.


  1. Karakteristik Krisis
Krisis biasanya terjadi secara tiba-tiba, ketika seseorang, keluarga, atau kelompok menglami ketidakadekuatan dalam persiapan untuk mengatasi suatu peristiwa atau situasi, tentunya yang sangat luar biasa. Metode pertahanan normal mengalami kegagalan, tekanan meningkat, dan perasaan cemas, ketakutan, kesalahan, kemarahan, rasa malu, rasa tidak berdaya akan mungkin terjadi. Kebanyakan krisis, kecuali akibat dari gangguan alami atau ulah seseorang biasanya terjadi dalam waktu yang singkat, selama 24 atau 36 jam. Krisis yang luar biasa parahnya terjadi lebih lama dari 4 sampai 6 minggu, mengingat periode pemulihan dari suatu gangguan membutuhkan waktu mungkin hingga beberapa tahun. Situasi krisis dapat disebabkan karena meningkatnya kondisi kejiwaan yang mudah terganggu, akibat dari kemungkinan adanya bahaya, self-destruction, atau perilaku sosial yang tidak bisa diterima, hal ini dapat menambah kesempatan pada pertumbuhan seseorang.


  1. Fase-fase Krisis
Pada umumnya terdapat 5 fase krisis, diantaranya adalah :
1. Fase Pra Krisis
Fase pra krisis adalah suatu keadaan keseimbangan yang umum dimana seseorang mampu untuk melindungi dirinya dari stress setiap hari.

2. Fase Impact (Pengaruh yang kuat)
Fase dimana terjadinya peristiwa yang menyebabkan stress menjadi lebih berat. Fase ini terjadi ketika, sebagai contoh misalnya ketika seorang dokter anak menjelaskan kepada sepasang suami istri yang baru memiliki seorang anak yang berusia 5 tahun bahwa anak mereka mengidap penyakit kanker, dan mereka menjadi sangat shock.

3. Fase Krisis
Fase krisis adalah fase dimana setelah shock mereka berakhir dan pasangan muda ini benar-benar menjadi sangat khawatir terhadap penyakit kronis anak mereka serta membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Ini adalah peristiwa dimana mereka mengalami stress yang luar biasa parahnya. Mereka mungkin akan mengalami kebingungan yang berkelanjutan, kecemasan, dan mengalami kekacauan karena mereka merasakan tak berdaya dan tidak mampu untuk mempertahankan diri dengan kondisi fisik anak mereka.

4. Fase Resolusi
Ketika pasangan tersebut mampu meraih kembali kontrol terhadap emosi mereka, mengatasi situasi, dan bersama-sama bekerja serta berkonsentrasi terhadap penyakit anak mereka dengan atau tanpa intervensi dari siapapun berarti mereka sudah memasuki fase resolusi.

5. Fase Post krisis (Setelah krisis)
Jika mereka mampu untuk memulai kembali aktifitas normal mereka sambil melewati masa-masa dimana anak mereka dirawat dan masih mengalami sakit, inilah yang disebut dengan fase post krisis.

Pengalaman pada saat krisis dan upaya merteka dalam melewati fase-fase tersebut dapat membuat mereka menjadi lebih tegar satu sama lain atau bahkan dapat membuat mereka mengalami luka emosional permanen, tapi hal ini tergantung pada kemampuan mereka dalam membentuk koping.


  1. Gejala-Gejala
Gejala umum yang dimiliki oleh orang yang mengalami krisis diantaranya adalah :
    1. Gejala Fisik
· Keluhan somatik (misalnya : sakit kepala, gastrointestinal, rasa sakit).
· Gangguan nafsu makan (misalnya : peningkatan atau penurunan berat badan yang signifikan).
· Gangguan tidur (misalnya : insomnia, mimpi buruk).
· Gelisah; sering menangis; iritabilitas.

    1. Gejala Kognitif
· Sulit berkonsentrasi.
· Pikiran yang tidak tenang.
· Ketidakmampuan mengambil keputusan.

    1. Gejala Fisik
· Disorganisasi.
· Impulsif ledakan kemarahan.
· Sulit menjalankan tanggung jawab terhadap peran yang sehari-harinya.
· Menarik diri dari interaksi sosial.

    1. Gejala Emosional
· Ansietas; marah, merasa bersalah.
· Sedih; depresi.
· Paranoid; curiga.
· Putus asa; tidak berdaya.